MENELADANI SIKAP EGALITER DAN DEMOKRATIS NABI IBRAHIM AS UNTUK KEPEMIMPINAN ERA MODERN

Oleh : Imam Prabowo, S.H.
Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Maumere

Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Maumere
Umat Islam di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia akan merayakan
Hari Raya Idul Adha 1444 H. Jutaan bahkan milayaran umat muslim berbondong-
bondong berkumpul untuk melaksanakan sholat Idul Adha, masjid-masjid disibukkan
dengan kegiatan penyembelihan hewan qurban. Allah SWT. Berfirman dalam QS Al-
Kautsar ayat 2 yang artinya “Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan
berkurbanlah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah)”
Sebagaimana diketahui, perintah berqurban kepada umat islam berkaitan erat
dengan kisah keteladanan Nabi Ibrahim AS dengan putranya Nabi Ismail AS. Kisah ini
dalam Al-Qur’an termuat dalam Surat As-Safaat ayat 102 yang artinya: “Maka ketika anak
itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai
anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang
diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang
yang sabar.”
Saat diturunkannya perintah Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail AS,
keadaan tersebut jelas bukan hal yang mudah. Bagaimana tidak, Nabi Ismail AS
merupakan putra pertama Nabi Ibrahim AS dan Siti Khadijah yang sangat lama ditunggu
serta dinanti kehadirannya. Pada saat dilahirkan, Nabi Ibrahim AS telah berusia 86 tahun.
Baru saja merasakan kebahagiaan atas kehadiran anak yang selama ini dinantikan,
beberapa tahun kemudian muncul perintah Allah SWT. untuk menyembelih sang putra
tercinta. “Maka pirkinkanlah bagaimana pendapatmu!” tutur Nabi Ibrahim AS kepada Nabi
Ismail AS setelah menerima perintah Allah SWT melalui tiga kali mimpi berturut-turut.
Penggalan percakapan antara Nabi Ibrahim AS dengan Nabi Ismail AS di atas
sesungguhnya menggambarkan keteladanan dan hikmah penting. Pertama, Nabi
Ibrahim A.S. senantiasa mengupayakan sikap demokratis dalam aspek kehidupan.
Menurut Mustari, sikap demokratis adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain. Meskipun Nabi Ibrahim ASberkedudukan sebagai nabi (pemimpin bagi umatnya), sekaligus sebagai ayah
(pemimpin dalam keluarga), namun Ibrahim AS tidak serta merta memaksakan kemauan
dan kehendaknya pada anaknya. Ia berusaha menghargai kedudukan anaknya dengan
membuka ruang dialog dan mempersilahkan Ismail AS menyampaikan pendapat, sudut
pandang bahkan meminta persetujuan kepadanya untuk disembelih. Hal tersebut
dilakukan Nabi Ibrahim AS dengan tenang meskipun dihadapkan pada situasi yang
secara naluri kemanusiaan dirasa sangat berat. Terlihat bahwa Nabi Ibrahim AS tetap
mengutamakan sikap partisipatif dengan membuka ruang kebebasan berpendapat dan
kepada sang anak.
Kedua, sikap Nabi Ibrahim AS tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Nabi
Ibrahim AS adalah pribadi yang egaliter. Menurut KBBI, egaliter secara harfiah berarti
sama atau sederajat. Adapun sikap egaliter adalah pandangan yang menitikberatkan
pada kesetaraan manusia tanpa membandingkan kedudukan, ras, gender dan lain
sebagainya. Nabi Ibrahim AS adalah pribadi yang egaliter, karena menempatkan relasi
antara ayah dan anak menjadi setara. Nabi Ibrahim AS ‘sangat bisa’ sesegera mungkin
melaksanakan perintah menyembelih Nabi Ismail AS dengan mengabaikan pendapat
sang anak. Hal ini karena Nabi Ibrahim AS berkedudukan sebagai orang tua dari Ismail
AS sehingga memiliki relasi kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi dari anak dalam
keluarga. Anak berkewajiban untuk berbakti dan taat kepada orang tuanya. Namun
demikian, Nabi Ibrahim AS lebih mengutamakan jalan komunikasi kepada sang anak,
Ismail AS. Hal ini semata-mata dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan
penghargaan atas kesetaraan hak hidup antar sesama manusia, antara ayah kepada
anak. Demikian juga yang sangat disadari oleh Ibrahim AS, meskipun anak sedikit
banyak mewarisi sifat dan gen dari orang tuanya, namun tidak menutup kemungkinan
antara keduanya memiliki perbedaan mindset dan pola pikir, seiring dengan perbedaan
jaman dan keadaan tempat keduanya tumbuh dan besar. Sehingga dialog dan
komunikasi antar orang tua dan anak menjadi titik temu dan kompromi dalam
menyatukan pola pikir yang berbeda. Keadaan ini mengingatkan kita pada syair puisi
Kahlil Gibran dalam bukunya yang berjudul Sang Nabi berikut ini:
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.
Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri. Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan
jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan
dalam mimpimu. Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan
mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.
Sebagai seorang kepala keluarga, Ibrahim AS menyadari bahwa komunikasi
memegang peranan penting bagi masa depan keluarga, khususnya antara orang tua dan
anak. Oleh karenya, tidak mengherankan jika dari keluarga Ibrahim AS lahir sosok anak
sholeh dan rabbani bernama Ismail AS. Dengan ketaatanya kepada Allah SWT, ia pun
telah siap merelakan tubuh dan nyawanya semata-mata dalam menjalankan perintah
Illahi robbi.
Nilai keteladanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam menerapkan sikap
demokratis, egaliter dan komunikasi yang baik hendaknya diimplementasikan bagi umat
islam dalam memaknai peringatan Idul Adha dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk
dalam konsep kepemimpinan. Bahkan sikap ini merupakan gaya kepemimpinan yang
dibutuhkan di era modern baik dalam lingkup keluarga, organisasi, pekerjaan maupun
masyarakat. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan demokratis,
egaliter dan komunikatif dipandang sebagai tipe kepemimpinan yang paling efektif dan
mudah diterima oleh semua kalangan.
Nilai-nilai sikap ini antara lain terdiri dari terlaksananya komunikasi dua arah
antara orang tua – anak atau pimpinan – bawahan, pengambilan keputusan bersama
melalui musyawarah dan dialog, memberikan kepercayaan penuh pada anak/bawahan
dalam mengemban tugas, saling terbuka atas kritik, saran dan masukkan serta saling
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan keluarga atau organisasi. Semoga Allah
SWT. Menganugerahkan kita, kepekaan hati dan ketajaman pikiran agar senantiasa
dapat meneladani dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam kisah Nabi Ibrahim
AS bersama Nabi Ismail AS. (IP)