Hampir Seluas Jawa Tengah, Segini Wilayah Yurisdiksi PA Putussibau

(PA Putussibau Undercover….)

Redaksi Khusus

Putussibau, 6 Juli 2023

Di mata CCTV, Pengadilan Agama Putussibau tak ubahnya Pengadilan Agama lain di Kalimantan Barat. Tapi jika CCTV itu bereskalasi menjadi kamera drone, maka bisa jadi kita akan memandang hamparan wilayah bak kain batik bermotif aliran sungai, danau dan perbukitan nan menawan. Dari maps, akan terlihat pula di antara hijau daratan Kapuas Hulu, ada garis putih yang tegas penanda batas negara. Itu karena Kapuas Hulu memang salah satu gerbang lintas negara. Jika demikian, kita boleh berkata, Pengadilan Agama Putussibau mengemban kekuasaan lebih dari apa yang tampak dari 8 titik mata CCTV itu.

Kami enggan menyebutnya paradoks saat membandingkan luasnya wilayah itu dengan kuantitas Sumber Daya Manusia yang hanya selikur. Karena sudah barang tentu akan dijawab, “kerja anda kan bukanlah untuk keliling wilayah”.

Entah berapa surat yang sudah mendarat di Medan Merdeka ataupun A. Yani, sekadar untuk ‘mengemis’ asupan SDM baru yang bukan sekadar berintegritas tapi juga ber-IT. Tapi upaya itu urunglah berjaya.

Lalu, di tengah kalut elektronisasi layanan hukum, PA Putussibau mengambil langkah ‘mewisuda’ “S.H” menjadi “S.Kom”. Lantaran tak ada satu SDM pun yang berlatar belakang IT. Bagi kami, para “S.H” kami bukan kaleng-kaleng. Karena selain matang hukumnya, mereka juga matang ITnya. Begitulah detak nadi SDM kami saat ini. Para “S.H” itulah yang ada di balik layar teknologi informasi, yang selalu tayang dari bumi Kratom yang berjarak 824 km jalur sungai dari kota Pontianak ini.

Pernyataan di atas tentu sebagiannya adalah satir. Kami sedang membela keadaan dengan jiwa ‘korsa’. Karena di luar itu, ada yang membuat kami tetap harus menyala. Kami menyebutnya sebagai pelita dedikasi. Ya. Dedikasi. Sebuah ‘ultra petita’ yang sebenarnya selalu dilakukan hampir oleh semua jagoan kami. Entah seberapa jauh sudah mereka ‘meninggalkan’ tugasnya jika diukur hanya dari garis SK atau uraian tupoksi, atau bahkan digit-digit gaji dan remunerasi. Karena yang mereka lakukan sudah lebih dari sekedar uraian SK, bahkan lebih ‘mahal’ dari tunjangan yang sedang diterima.

Cerita ‘unprofessional” kami ini adalah realitas. Tapi kami murka jika dikatakan berkeluh-kesah. Karena nyatanya, tupoksi 40 an jabatan, bisa dikerjakan hanya oleh selikur personil termasuk yang ‘salah fakultas’. Belum lagi dari selikur itu ada yang berhalangan. Memang terkadang bajaj kami mogok di jalan karena ada ‘sparepart’ yang harus lepas. Prestasi kerja kami pun, mohon maaf, predikatnya nasional. Baik institusional maupun individual.

Singkat kata, hingar-bingar tugas pengadilan dengan standar nasional yang sama di seluruh pertiwi ini, ternyata juga sanggup dilakukan oleh para jagoan kami di rumah bernama PA Putussibau. Tentu bukan dengan sekadar tupoksi garis SK, tapi dedikasi garis realita.

Sampai di sini, meskipun terseok, bahkan setengah  jiwa tetap saja berisi kantor sekalipun sedang cuti, prajurit PA Putussibau berhasil finish. Namun PA Putussibau sebagai representasi negara, rasanya baru dirasakan hanya oleh segelintir pencari keadilan. Wilayah yurisdiksi yang hampir seluas Jawa Tengah ini, barangkali belum seluruhnya tahu bahwa ada institusi bernama Pengadilan Agama Putussibau. Bisa jadi kerdilnya jangkauan itu lantaran nama kota yang digunakan sebagai nama institusi. Tapi apapun itu, tak layak rasanya berapologi.

Luas Kabupaten Kapuas Hulu mencapai 31.162,87 km², atau sekitar 20.33% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat dan sekaligus merupakan kabupaten terluas kedua setelah Kabupaten Ketapang, yang secara administratif memiliki 23 Kecamatan dengan 4 Kelurahan, 278 Desa dan 703 Dusun.

Secara geografis, dari total luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, ± 390.000 Ha (± 3.900 km²) merupakan daerah perairan atau tergenang (atau 13,7 % dari luas daerah tergenang di seluruh wilayah Kalimantan Barat). Selebihnya seluas ± 2.726.287 ha (± 27.262,87 km²) merupakan daerah daratan atau daerah tidak tergenang. Lalu seluas 1.732.999,97 ha atau ±55,61% wilayah, yang merupakan kawasan konservasi dan kawasan lindung.

Dengan yurisdiksi seluas itu, Pengadilan Agama Putussibau seakan bukan   pengadilan tingkat pertama. Tapi sejajar dengan pengadilan tinggi agama di Jawa. Tapi, dari segala segi, Pengadilan Agama Putussibau, seperti bawang putih yang kerap dibully. Apakah itu karena jauhnya, karena banjirnya, karena mahalnya, karena non prestisenya. Bagaimana tidak, “selama ini” PA Putussibau tanpa disadari distigma atau terstigma sebagai “panti rehab”, atau kawah candra di muka, yang meskipun baik, tapi cenderung dihindari. Hingga tak pernah ada satupun hakim perempuan yang pernah bertugas di sini. Ya. Mungkin karena PA Putussibau terstigma tidak aman perempuan. Tidak ramah perempuan. Mereka insecure berada di sini. Dan lain sebagainya.

Bayangkan, wilayah seluas provinsi itu, berhasil ditaklukkan hanya oleh seorang jagoan panggil (baca: jurusita). Lalu, di saat yang sama, di samping tugas mengantar surat seluas itu, sang jagoan masih harus pula menaklukkan digit-digit anggaran dipa ‘sebanyak’ itu, dengan seabrak aplikasi yang updatingnya bisa tiap bulan. Sophisticated, kata ilmuan. As your info, jurusita kami juga adalah bendahara. Tapi Mahkamah Agung sudah punya cara jitu menghandle panggilan sidang. Ya, lewat pos. Dengan begitu, panggilan kembali ke habitat asalnya.

Sama halnya juru ketik berita acara sidang (Baca: Panitera Pengganti). Di samping, tugas otentiknya itu, ia juga berjibaku dengan digit-digit rupiah di meja kasir. Bahkan format-format daftar gaji juga harus dituntaskan di saat yang bersamaan. Hingga kami harus maklum jika ada menu jurnal yang kejar-kejaran dengan transaksi ril suatu perkara.

Kami tahu, ada ‘ancaman’ dianggap gagal memimpin jika mengutarakan keluhan dapur kantor baik ke banding ataupun ke pusat. Meskipun naluri kritis itu hilang datang. Karena bagaimana pun, tuntutan berbuat profesional, sebenarnya sedang tidak singkron dengan perlakuan unprofessional yang kami terima. Tapi dari kenyataan itu, kami belajar bijaksana.

Bagi kami, Kapuas Hulu adalah salah satu replika konsep surga yang dipajang di atas bumi Borneo. Bagaimana tidak, ada sungai yang airnya terus mengalir, jernih, hingga menjadi persediaan air minum masyarakat bibir sungai. Ada Arwana alias Silok, sang ikan ‘nirwana’ yang lebih mahal dari Fortuner. Lalu, ada kebun-kebun durian dengan kualitas buah grade A. Untuk kuliner, kota ini punya makanan olahan bernama kerupuk tapi lembut, yang setiap hari berkwintal kilo di’ekspor’ ke penjuru kalbar lewat ekspedisi. Bahkan,  ada tanaman ‘khuldi’ (baca: tanaman kontroversial) bernama Purik alias Kratom yang tumbuh subur di sini.

Akses jalan dari Pontianak hingga ke jantung kota Putussibau, sudah dipandang sangat baik. Setidaknya seperti yang diklaim bang Miji. Sekalipun lewat jalur darat ini, adrenalin berkendara anda diuji cukup sengit. Ruas jalan terutama antara Sintang dan Putussibau, tak semuanya leluasa untuk dilewati. Lebar jalan terkadang hanya ideal dilewati satu bus besar, sementara jika harus berpapasan, maka sayap jalan menjadi solusinya. Itu pun jika beruntung. Sebab, tidak sedikit mobil tergelincir ke semak-semak lantaran tak ada sayap jalan yang dapat menopang.

Fokus pada jalan yang tidak cukup lebar ini, terkadang membuat panorama alam di kanan kiri jalan tak sempat anda nikmati. Belum lagi jika jembatan beralas kayu ulin  seketika menghadang laju pedal gas anda. Ya. Hitungan kami, masih ada 12 setel jembatan beralas kayu yang harus anda taklukkan untuk sampai ke uncak kapuas ini. Namun sudah tak terhitung kali, jembatan itu nyatanya sanggup mengemban tugas menahan kendaraan berat untuk melintas. Iya. Kesimpulannya, tak cukup alasan terkait akses jalan darat untuk mengatakan Putussibau terbelakang. Apalagi jika anda berdompet tebal, ada pesawat ATR yang siap mengantar anda seminggu 3 kali. Hanya perlu kurang dari 2 jam untuk berada di udara.

Jadi, Pengadilan Agama Putussibau sebenarnya tak seseram stigma banyak orang terhadapnya. Hanya kurang piknik saja, kata netizen. Maka, siapapun yang ditawarkan atau ditakdirkan bertugas di kota kerupuk basah ini, ciciplah dulu. Lalu anda akan ketagihan selamanya. Seperti diungkapkan H. Abi, panitera kami, “bahkan saya ingin pensiunnya di sini saja”.